Hargailah Cinta dan Kasih Sayang, karena Keduanya Selalu Menyertai Kehidupan Kita

Kamis, 31 Agustus 2017

Edelweis Part 2

Agustus telah berlalu, sudah lima bulan aku mendampingimu. Edelweis-edelweis itu juga telah mekar dengan sempurna. Tinggal menunggu waktu 10 tahun lagi untuk gugur. Begitu juga denganmu yang semakin memperlihatkan siapa dirimu sebenarnya. Entah membutuhkan waktu 10 tahun atau tidak untuk bisa melihat semangatmu gugur dalam pendakian.

Ternyata selama ini, kau bukan pecinta alam seperti yang ku kenal dulu. Kau hanya berusaha melarutkan emosimu sejalan dengan pendakianmu ke gunung-gunung itu. Gunung yang telah merenggut nyawa kekasihmu dengan kejam.

Dan aku hanya seorang gadis bodoh yang dengan tekad telah merajut asa, dengan tulus berikrar akan setia menemani dalam setiap perjalananmu hanya demi terbukanya pintu hatimu untukku. Namun ternyata, setiap pendakian semata-mata diniatkan hanya untuk mengenang kepergian kekasihmu.

Lalu, bagaimana bisa aku merajut asa untuk orang yang lebih memilih mematikan rasa demi mengabadikan perasaan masa lalunya ? Bagaimana bisa aku berharap dihargai oleh orang yang lebih menghargai masa lalunya ? Bagaimana bisa aku membangun mimpi masa depan bersama orang yang masih suka berjalan dalam masa lalunya ?

Andai sejak awal aku tahu alasanmu berani menggenggam jemariku waktu itu, andai aku tahu alasanmu menatapku begitu dalam waktu itu. Semua itu tak terlepas dari bayangan masa lalumu. Ternyata, bagimu aku hanya pareidolia dari kekasihmu yang tak akan pernah tergantikan oleh siapa pun itu.

Selasa, 29 Agustus 2017

Berbeda

Teruntuk kamu Sahabat,
Sang pemilik kisah ini, DWA.

Kau tahu ? Aku pernah menjalani kisah cinta dengan seseorang yang berbeda keyakinan. Darinya aku belajar menghargai perbedaan, darinya aku belajar bagaimana berjalan sambil meleburkan perbedaan yang begitu besar supaya terlihat serasih di mata masyarakat. Meskipun pada akhirnya, tak ada satu pun yang menganggap kami serasih. Dan yang lebih berkesan adalah dengannya aku lebih dekat dengan Tuhanku, aku lebih taat beribadah pada Tuhanku. Dan dia pun begitu pada Tuhannya.

Tapi, semakin aku merasa dekat dengan Tuhanku, semakin aku merasa bersalah atas apa yang tengah ku jalani. Namun tetap saja, meninggalkannya sangat sulit ku lakukan.

Aku sudah bertanya pada para ustadz, para imam, hingga para ulama, dan mereka menyalahkanku habis-habisan. Dalam pelukan istri seorang ulama aku menangis, aku berkata,
"Benarkah aku salah ibu ? Aku sudah sangat mencintainya. Bisakah aku tetap bersamanya untuk mengajaknya berjalan bersama denganku ke duniaku? dunia Islam"
Sang ulama mendengar ucapanku. Kali ini dia mulai menurunkan nada bicaranya.
"Nak, pulanglah. Baca Q.S. Al-Baqarah ayat 256. Semoga kau menemukan jawabannya"

Aku pulang, ku baca ayat yang disebutkan sang ulama tadi. Di sana tertulis,
"Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barangsiapa ingkar kepada Tagut dan beriman kepada Allah, maka sungguh, dia telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui." (Q.S. Al-Baqarah, 2: 256)
Aku menangis hingga air mataku menetes ke lembar Al-Qur'an yang tengah ku buka. Ya, aku salah. Tidak ada paksaan dalam menganut agama Islam. Bukan tugasku sibuk mempengaruhi seseorang menganut agamaku sedang dia sendiri sangat taat dalam agamanya. Meskipun dia mencintaiku. Jika kami sama-sama sedang mendalami ajaran yang kami anut, harusnya kami tahu jalan seperti apa yang tengah kami jalani. Dan jika dia merasa jalan yang dia pilih salah, harusnya dia sudah berbelok untuk berjalan mengikutiku. Tapi tidak, dia tetap pada jalannya, dan aku tetap pada jalanku.

Aku teringat pada perkataan Ayahnya yang mengatakan bahwa kami sebenarnya berjalan dalam dua jalan berbeda yang dahulu adalah sama. Abraham yang dia kenali dalam ajarannya sesungguhnya adalah Ibrahim yang ku kenal dalam ajaranku. Jadi, tidak salah jika memang aku dan dia tetap bersama dalam perbedaan itu.

Aku kembali pada sang ulama tadi, dia berkata.
"Nak, ayat yang ku sampaikan padamu sesunggunya sudah menjelaskan semua itu. Sesungguhnya telah jelas perbedaan antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Kembalilah pada Allah, nak. Selama ini kau mendekati Allah hanya agar kekasihmu melihat bahwa kau muslim, agar kekasihmu mengenal bagaimana kau beribadah, agar dia tahu bagaimana Islam, agar dia tau bahwa kau setaat itu hingga tak mungkin bagimu meninggalkan Islam. Tapi nak, jika kau telah berhasil mengenalkan islam padanya, mengapa dia belum juga mengikuti Islam ? Dan juga nak, salahmu adalah, seorang muslim sejati tidak akan menjalin hubungan percintaan dengan umat yang berbeda. Kau taat, tapi kau menjalani kesalahan itu. Kau mengenalkan Islam yang salah padanya. Tinggalkan dia nak. Jika memang dia untukmu, dia akan kembali padamu. Bukan karena cintamu, tapi karena agamamu."
Aku menangis, dalam sesaat aku menyesal. Aku malu. Aku salah.

Puing-Puing Masa Lalu

Aku. Seorang wanita bercadar yang kau kagumi, yang sering kau puji dengan 1001 cara pujianmu. Aku. A...A.....Aku tak seindah pujianmu. Bisakah kau berhenti memujiku ? Sebab setiap pujianmu tlah menjatuhkan hatiku sekaligus menyakitiku.
Aku bahagia karena pujianmu yang manis, tapi aku juga tersakiti karena sayangnya kau memujiku sambil tersenyum sedang aku tak seindah apa yang kau ucapkan dalam pujianmu.
Hari ini, keputusanmu mendatangi rumahku, memintaku di hadapan kedua orang tuaku sangat menyakitiku. 
Aku takut. 
Takut jikalau kau mengetahui siapa aku sebenarnya, maka semua pujianmu akan berganti menjadi 1 hinaan panjang tiada akhir.
Aku takut, senyum yang sering yang kau pancarkan padaku berubah menjadi tatapan dingin. 
Aku takut. Sebab sesungguhnya aku hanyalah puing-puing yang tersisa dari masa laluku.

Senin, 14 Agustus 2017

Hijrah Cinta

Sudahlah, lepaskan segala sebab resah dan gelisahmu di malam ini. Cukupkan tidurmu untuk mengistirahatkan segala rasa, jangan sampai melarutkanmu dalam kesedihan amat mendalam hingga menyerah seakan dunia tak pantas untuk kau pijaki lagi. Tenanglah, seburuk apa pun malam ini, besok akan indah lagi. Percayalah. Keindahan bukan hanya terpancar dari manusia-manusia itu. Besok saat kau terbangun, Tuhan masih akan menunjukkan kebesaran-Nya padamu agar kau sadar betapa Dia mencintaimu. Kau masih tetap bisa menikmati mentari pagi untuk bisa melihat keindahan alam dunia nan luas tiada tara. Kamu masih bisa menghirup segarnya udara di pagi hari meski tanpa siapa-siapa di sampingmu. Sadarlah, tak seorang pun yang pantas kau sebut sebagai nafasmu, tak ada seorang pun layak kau yakini sebagai nyawamu. Semuanya ada dalam dirimu sendiri. Cukuplah semua itu bagimu untuk bisa menyukuri nikmat Tuhanmu dan lebih berani meninggalkan segala rasa untuk mulai mencintai-Nya dengan sepenuh hati. Percayalah, kamu tidak akan sesakit ini lagi. 

Minggu, 13 Agustus 2017

Edelweis


Untukmu seorang pecinta alam bebas, yang menganggap gunung adalah rumah dan nyawa bagimu, serta udara pegunungan adalah nafasmu.

Di bulan Maret lalu, aku hanya mengenalmu sebagai seorang pendaki berkulit putih, yang sesulit dan seterik apapun sinar mentari dalam kondisi pendakianmu, namun tak sedikit pun mengubah warna kulitmu. Sejak saat itu, aku mulai tertarik padamu dan mulai mengikuti rutinitasmu juga bergabung dalam kelompokmu.

Sejak bulan April sampai Agustus ini, kita semakin dekat. Kamu yg dulu hanya ku kenal sebagai lelaki berkulit putih kini mulai memancarkan keindahanmu dari dalam. Sikapmu, tutur katamu, semuanya begitu indah.

Ada beberapa wanita yang mendampingimu mendaki setiap hari, termasuk aku. Tapi, sepertinya sulit sekali mendapatkan cintamu. Entah di hati bagian mana kamu menyimpan perasaan istimewa pada seorang wanita. Yang ku lihat, penyatuanmu dengan alam seakan menutup mata dan hatimu untuk melihat wanita dengan cinta. Tahukah kamu ? Bahwa keindahanmu bukan hanya ku puja, tak hanya ku banggakan, tapi juga ingin ku miliki.

Aku tahu wanita-wanita itu juga mengagumimu. Hanya saja, mereka cepat sekali menyerah hanya karena sifatmu yang dingin. Tapi aku akan selalu disampingmu, menemanimu mendaki sampai ke  puncak gunung manapun yang kamu suka.

Aku percaya kamu adalah jelmaan dari sekuntum bunga edelweis, bunga keabadiaan. Biarkan aku mempercayai hal itu. Kamu sekarang telah menjadi kekuatanku, semangatmu yang tak mudah layu dan gugur telah mengajariku banyak hal.

Biarkan aku mendampingimu 10 tahun lagi, atau bahkan lebih dari itu. Tetaplah menjadi edelweis yang dikagumi keindahannya namun menjadi sulit untuk dimiliki. Kelak, setelah 10 tahun nanti, ketika musim gugurmu telah tiba dan kamu mulai kehilangan sedikit demi sedikit semangat pendakianmu, dengan segera aku akan menangkapmu dan memberikan ruang baru di dalam hatiku, untukmu. Sejak saat itu nanti, kamu mungkin tak lagi abadi di gunung-gunung itu, tapi kamu pasti akan abadi di dalam hatiku.

Sabtu, 12 Agustus 2017

Pesan Terakhir


Hari ini, aku berdiri  lagi di sini. Di tempat dimana kita biasa berbagi. Aku teringat lagi tentangmu. Hal yang sudah ku hapuskan dari rutinitasku. Ingatkah kamu saat setahun yang lalu ketika kamu memintaku kembali, jawabanku hanya, "Sudahlah, mungkin hidup ini tidak akan panjang untukku". Kamu lantas menatapku heran dan terus memintaku. Kamu yang meyakinkanku untuk bisa tetap semangat menjalani hidup dan tetap bisa merasakan jatuh cinta dan memiliki seperti yang lain.

Tapi, beberapa bulan lalu kamu dengan tega melepaskanku. Kamu, kamu. Oh entah dengan kata apa aku harus mengataimu atas kekejaman itu. Belakangan aku tahu bahwa ternyata kamu tertarik ke lain hati.

Lalu beberapa minggu lalu, setelah mengusirku, mengapa kamu masih hadir membawa asa sementara hari-harimu kamu habiskan bersamanya. Mengapa masih berani menunjukkan rasa, sementara rasamu telah kau bagikan padanya. Apa kamu tahu ? Aku tidak sebodoh itu. Membiarkan kamu datang dan pergi sesukamu. Aku bukan lagi aku yang dulu meski dengan tegas kamu berkata bahwa mengusir raga bukan berarti juga mengusir rasa.

Di suatu senja di suatu hari. Kamu mungkin akan teringat pernah bersamaku di tempat ini. Namun nanti, ketika cerita ingin kamu ulang kembali, aku pasti sudah tiada.

Kamu tahu ? Kemarin adalah hal terberat dalam hidupku. Aku harus menerima kenyataan pahit tentang hidupku sendiri. Kenyataan yang dalam sekejap meruntuhkan segala harapan dan impianku. Saat aku terjatuh dan dibawa ke rumah sakit, dokter memvonis penyakitku. "Stadium Akhir dan tidak bisa tertolong lagi". Selama berjam-jam aku terbaring lemah menghadapi kenyataan terpahit dalam hidupku ini. Kalau pun hari ini aku mampu berdiri lagi di sini tanpa siapa-siapa seakan tak ada beban yang ku miliki, tentu itu karena doa dan semangat dari orang-orang yang menyayangiku. 

Sudahlah tentang vonis menakutkan itu. Lagipula 22 tahun bukanlah waktu yang sementara. Bagiku ini sudah cukup. Cukup untuk menikmati indahnya dunia. Meski sebenarnya belum cukup untuk menabung bekal untuk perjalanan setelah mati.

Jika malam ini adalah malam terakhirku, maukah kamu datang menemuiku untuk berkata jujur tentang siapa sebenarnya kamu ? Tentang semua hal yang pernah kutanyakan ? Sebab, yang sering terjadi adalah ketika kita mengetahui tentang sesuatu, maka sesuatu itu akan semakin menjadi-jadi, seperti penyakitku ini. Jangan takut. Semua pengakuanmu itu tidak akan menyakitkan terlalu lama. Kematian akan membawaku pada kematian rasa. Yang tersisa hanya amal kebaikan yang pernah aku beri.

Yang jelas, kepergianku yang selamanya akan mengajarkanmu bahwa presensi setiap orang dalam hidupmu harus kamu hargai. Kamu tidak bisa mengorbankan rasa untuk raga. Yang jelas, rasa bisa menjamin raga. Sedangkan raga belum tentu menjamin rasa. Itu saja.

Untukmu yang terakhir.
Dariku yang kurang beruntung.

Jumat, 11 Agustus 2017

Ada yang Pergi, Ada yang Datang



Yang datang itu adalah dia yang selama 9 bulan ini kita nantikan penuh asa. Namun, yang pergi adalah dia yang sudah menemani perjalanan kita sejak awal kedatangan kita ke dunia, dia, ibu.

Akhirnya, aku hanya bisa menyadari bahwa tidak ada yang patut disalahkan dari kejadian ini, membenci kelahirannya pun tidak mungkin ku lakukan. Namun tetap saja, rasa kehilangan ini masih menghantui hariku, bahkan sempat membuatku memusuhi Tuhan.

Sebagai anak sulung, aku sadar ketegaranku yang harus lebih besar daripada yang lain. Aku pun harus mampu melapangkan pikiranku. Mungkin jika aku berada di posisi ibu, aku akan berharap hal yang sama terjadi pada ibu. 

Seperti itulah seorang ibu, dia berjuang mati-matian demi kehidupan anaknya, perjuangan serta pengorbanannya takkan bisa ditandingi oleh perjuangan siapapun termasuk ayah. Dia telah memberikan tempat dan banyak waktu kepada kita sejak kita masih berada di rahimnya, tumbuh dengan rasa nyaman, kehangatan hingga kita lahir dan menjalani kehidupan di dunia meski tanpa kehadirannya. Tapi dia akan selalu hidup dalam hati kita. Perjuangannya akan selalu kita rasakan sampai kita mati. Bisa dikatakan bahwa kehidupan adalah hasil nyata dari perjuangan ibu”.