Lama dia pergi. Lalu
tadi malam dia datang mengabariku dan bilang bahwa dia akan segera menikah. Demi Allah, tak ada sedikit pun rasa sesalku telah bertahan dalam diamku. Tak
ada sedikit pun rasa kecewa dalam hatiku atas ketetapan Allah atas dirinya.
Sudahlah. Mungkin dia hanya
mencintai duniaku saja. Tidak dengan akhiratku. Terkadang aku bertanya pada
diriku sendiri, lupakah aku ? bahwa dia pernah dengan sangat lemah menjaga
rasanya untukku sendirian. Dia, lelaki yang beberapa tahun ini namanya selalu
terucap dalam do’aku pernah dengan mudah pergi dari hatiku hanya karena aku
telah meminta raganya pergi dari sisiku, dari hariku. Padahal kepergianku
semata-mata ku lakukan untuk mencari ridha Yang Maha Kuasa, bukan hanya
untukku, tapi juga untuknya. Bukankah dalam cinta, kadang mengusir raga tak
berarti juga mengusir rasa, apalagi asa. Itu pun dia tak mengerti.
Aku percaya bahwa segala ketetapan
yang telah ditetapkan Allah atas aku dan dia adalah sebaik-baiknya ketetapan
yang tak bisa ku ubah dengan cara apa pun, dengan rayuan apa pun. Bukankah
segala yang terjadi dalam hidup ini telah tertulis jelas dalam Lauhul Mahfudz ?
Segala rahasia pada akhirnya akan terungkap, termasuk rahasia pendamping yang
terbaik bagiku kelak. Sekarang belumlah waktuku untuk bahagia, maka cukup ku
syukuri saja kebahagiannya. Aku meyakini bahwa ini adalah jawaban Allah atas
do’aku sepanjang dua tahun ini, bahwa Allah telah mengasihaniku mendo’akannya
yang bukan jodohku. Pada hari ini, akhirnya aku sadar bahwa besok takkan ada lagi
lantunan do’a yang sama seperti hari ini, do’a yang mengharapkannya kembali ke
sisiku, memintaku menjadi pasangan hidupnya, kemudian hidup bahagia bersamanya
dalam ikatan tali suci pernikahan hingga maut memisahkan sesuai janjinya dulu.
Takkan ada lagi.
Memang benar bahwa selama akad belum
terlaksana, semua hal bisa saja terjadi. Kita sama-sama tahu bahwa dengan
kehendak Allah, rencana yang telah tersusun rapi pun bisa jadi hanya sebatas
rencana. Sedangkan apa yang tidak pernah direncanakan, bisa jadi itulah yang
terjadi. Namun akan ku hapus segala asaku. Hapus. Takkan ku biarkan semua itu
menggodaku untuk kembali berharap lagi. Takkan ku biarkan apa yang disebut
kesempatan itu merayuku hingga aku bisa salah lagi. Tidak akan, sebab akan ku
relakan pernikahannya.
Berpikir positif itu memang
memudahkan kita untuk bisa tenang menghadapi segala permasalahan yang ada, tapi
tak semua hal harus dihadapi dengan berpikir positif, salah satunya adalah
kenyataan yang memang pahit adanya. Berkali-kali telah ku peringatkan diriku
sendiri tentang itu, tapi hatiku tetap berusaha untuk merayu pikiranku untuk
percaya dan yakin bahwa pernikahannya pasti hanyalah mainan, bualan untuk
menyenangkan hati kekasihnya saja. Nyatanya, mainan dan bualan itu ternyata
adalah kemauan dan keseriusan yang dulu dia janjikan padaku. Tapi justru
kepadakulah mainan dan bualan itu.
Begitulah jodoh. Seperti apa pun
kita pernah mencintai seseorang di masa lalu, sesungguh apa pun kita berniat
untuk kelak akan kembali menjemputnya demi menjadikannya sebagai kekasih yang
halal bagi kita, kelak semua itu akan pudar oleh kehadiran jodoh kita. Karena
sesungguhnya, cinta itu memang hanya sepantasnya kita sembahkan padanya. Meski awalnya
niat kita hanya untuk bermain-main dengan perasaannya, kelak perasaan
padanyalah yang dengan sendirinya ingin kita perjuangkan. Karena dialah, jodoh.