Suatu malam, seorang temanku
mengajakku jalan-jalan. Tiba-tiba dia berhenti di depan tempat permainan bilyard.
Dia turun dari sepeda motor yang dinaiki kami berdua, kemudian merayu
seorang om-om. “Hay om”. Lelaki berbadan besar dan tinggi itu kemudian
tersenyum padanya.
“Om, belum makan
nih” kata Lisa, temanku
“sini, sini” kata lelaki
itu dengan melambaikan tangannya.
Lisa pergi mendekati
lelaki itu.
“Rin, tunggu ya”
katanya padaku
Di sana, yang ku lihat mereka
berbisik-bisik entah apa yang mereka bincangkan dalam setiap bisikan mereka.
Dada Lisa semakin ia dekatkan ke dada lelaki itu. Kedua tangan lelaki itu
kemudian memeluk pinggul Lisa. Dalam hati aku
berkata, “Apa yang dia lakukan?”. Sungguh, saat ini, walaupun aku terlihat
bergaul dengan orang-orang seperti Lisa, tapi aku enggan melakukan hal
seperti itu. Mungkin ibu akan membunuhku jika dia masih hidup jika tahu anak
gadisnya seperti itu. Lisa menjinjit dan mencium lelaki itu. Mataku terus melototi mereka berdua. Lelaki itu lalu mencium
kedua pipi Lisa, dahinya, lehernya, hingga bibirnya. Tangan lelaki itu
dilepaskan dari pinggul Lisa. Mereka berdua menjauh 5 cm. Lelaki itu
mengeluarkan dompet dari saku celananya bagian belakang. Di tariknya beberapa
lembar uang 100.000 dan kemudian diberikan kepada Lisa.
“Thank’s om” kata Lisa
dengan menepuk-nepukkan uang-uang itu ke mulut lelaki itu.
Lisa berjalan dengan
senyum lebar ke arahku. Dia langsung mengajakku ke restaurant. Sepanjang
perjalanan ke restaurant, aku terus memikirkan hal yang tadi dilakukan Lisa.
Segampang itukah dia memperoleh uang ? Hanya dengan merayu laki-laki yang tidak
tahu entah suami orang atau bukan, duda atau bukan, dia bisa diberikan uang
sebanyak itu.
“Hey, Rin. kamu di
belakang kenapa diam ? Kesambet baru tahu rasa loe” kata Lisa
“Nggak Lis. Emmm. .
. .ngomong-ngomong tadi itu kamu ngapain?”
“Biasa, jual diri
kelas bawah. Lo kan tau gue bispak. Ya gitu, kerja gue. Lumayan kan. Bisa dapat
uang banyak tanpa kerja keras sedikit pun.” Jawab Lisa
“Oh gitu”
“emang kenapa ? kamu
mau juga ya Rin?” tanya Lisa yang langsung membuatku kaget.
Aku tak menjawab
apa-apa, sedangkan Lisa menertawaiku terbahak-terbahak. Aku terdiam sampai kami
tiba di restoran yang kami tuju.
***
Aku sedang jalan-jalan bersama teman-temanku. Ya, teman-teman baikku yang datang dari kalangan
anak-anak yang rusak pergaulannya. Kami pergi ke puncak. Di sana, kami duduk
bersama-sama. Bercanda, bergurau dan tertawa bersama-sama. Kami merokok dan
mencicipi sedikit minuman keras. Di antara kami, ternyata ada yang minum berlebihan,
namanya Arai. Dia mabuk berat hingga tak terkendalikan. Tanpa kusadari, sejak
dia belum mabuk hingga mabuk seberat itu, dia terus menatapku. Entah apa yang
dia pikirkan tentang diriku hingga bisa menatapku sampai-sampai tak sadar bahwa
dia telah minum terlalu banyak. Tiba-tiba dia berdiri dan berjalan padaku.
“Hey, Rina. Stop. Lepaskan
barang itu dari mulut kamu”
Semua anak-anak
bingung dan menatapnya dengan heran.
“Loh, kenapa?”
tanyaku bingung
“aku nggak suka,
stop” bentaknya
Aku berdiri dan memasang wajah menantang padanya.
“Eh, kamu kenapa sih
? Stres kamu. aku yang merokok kok kamu yang sewot? Apa hak kamu?”
Dia berbalik badan,
kemudian berbalik lagi kepadaku.
“kamu tanya kenapa?
Haa? Kenapa?” Dia bertanya semakin keras.
Aku pura-pura cuek
dan berjalan menjauh kemudian lanjut menghisap rokokku. Tanpa sadar, dia
berlari ke arahku dan kemudian melepaskan rokok yang sedang ku hisap dari
mulutku. Dia langsung memelukku dengan erat.
“Rin, cewek-cewek
lain boleh merokok. Tapi kamu, aku nggak mau kamu sama kayak yang lain. Kamu
nggak pantas temenan sama kita. Kamu ini cewek baik-baik. Apa yang buat kamu
kayak gini? Bilang sama aku. Aku nggak bisa ngeliat kamu rusak kayak gini”
katanya
Tiba-tiba pikiranku
melayang, hatiku tertekuk, aku sampai bingung. Dia bersikap seakan-akan dia
memerhatikanku selama ini. Dia seperti menyukaiku. Semua diam. Salah satu dari
kami merasa terganggu oleh perlakuan Arai. Dia memutuskan untuk meninggalkan
puncak diikuti teman-teman lainnya, begitu pula dengan aku dan Arai.
***
Hari berganti hari, sikap Arai
semakin berubah. Dia semakin berlebihan menghadapiku. Sedikit kesalahanku
adalah masalah besar baginya. Hingga aku merasa tak lagi bebas seperti
sebelumnya. Semua tindakannya mampu membuka pintu hatiku. Aku tertarik dengan
perhatiannya. Perhatian yang sudah lama ku impikkan setelah ibu pergi.
Perhatian yang sudah lama tertanam bersama ibu. Kini perhatian itu lahir
kembali dalam sosok yang berbeda, dengan cara yang berbeda, hingga aku ikut
merasakan sesuatu yang berbeda.
Suatu malam, Arai mengajakku pergi
ke puncak dimana kita bisa melihat pemandangan kota di malam hari yang indah.
Kami berdua duduk di tepi jalan raya. Entah dengan status apa, dengan
lancangnya dia menyandarkan kepalaku di bahunya, dan memelukku. Jujur saja aku
sangat nyaman di dekatnya sehingga ku biarkan diriku larut dalam perlakuan
romantisnya. Kami berbincang-bincang sedikit mengenai keadaan kota malam hari
itu. Tiba-tiba aku terdiam, dan Arai berbicara.
“Rin, aku boleh
nggak nanya sama kamu?”
“Tanya apa”
“Kamu sayang nggak
sama aku?” Tanya Arai yang langsung membuatku terdiam dan terpaku.
“Kenapa? Nggak bisa
jawab?” Tanya Arai lagi
“Emm . . .emmm” aku
bingung harus jawab apa.
“Nggak yaa? Maaf
soal ini”
Dia melepaskan
tangannya dariku dan langsung berdiri. Dia mengajakku untuk pulang. Timbul rasa
penyesalan dari dalam hatiku. Aku menyesal tak menjawab pertanyaannya.
Dia telah menyalakan sepeda motornya.
“Tunggu apa lagi?
Ayo kita pulang” ajaknya
Aku berbalik dan
berjalan menjauh darinya. Dia terheran, dan tak lama kemudian mematikan sepeda
motornya dan berlari ke arahku. Dia menarik tanganku dan langsung membalikkan
badanku mengadapnya.
“Rin, kenapa? Aku
tahu kamu pasti mau bilang iya kan?”
Aku masih terdiam
dan tak mampu berkata-kata. Sudah banyak hari yang kita lalui bersama. Banyak
sekali perhatian yang sudah kunikmati darinya. Saat dia tak ada, hatiku seakan
kehilangan sesuatu yang sangat berarti dalam hidupku. Semuanya sudah cukup
meyakinkanku bahwa aku sudah jatuh cinta padanya. Dan begitu juga dia. Hanya
saja, aku belum siap mengatakan semua ini.
“Jawab Rin, kamu mau
nggak jadi pacarku?” tanyanya yang semakin membuatku gemetaran
“Aku. .aku. . .jujur
saja akuu. . .” jawabku yang masih tergesa-gesa
“Apa, Rin ? Bilang.
Jangan buat aku kayak gini terus ? Aku ingin miliki kamu, Rina.”
Aku masih saja diam
dan dia pun menyerah.
“Yaa sudahlah, aku
tahu aku nggak pantas buat kamu. Aku salah orang. Maaf udah buat kamu bingung
kayak gini. Ayo kita pulang.” Katanya dengan memaksakkan senyumnya.
Dia menarik
tanganku. Kami berjalan menuju sepeda motornya. Sambil berjalan, aku terus memikirkan
apa yang sudah ku alami bersama Arai malam ini. Masih ada rasa penyesalan yang
timbul dari hatiku. Dari tadi, rasa itu terus menghantuiku. Memaksaku untuk
mengatakkan “iya”. Tapi aku sendiri tak mampu mengatakannya. Aku berhenti.
“Kenapa” tanya Arai
Dengan memberanikan
diriku,
“Arai, sebenarnya
aku juga ngerasain apa yang kamu rasain. Aku mau kok jadi pacar kamu”
Wajah Arai yang sebelumnya terlihat
cemberut tiba-tiba berubah ceria, dia langsung memelukku. Sejak malam itu, aku
merasa seakan kehidupanku berubah. Semakin indah dengan hadirnya Arai. Dia
memperbaiki kehidupanku yang sempat kacau, meski sebenarnya dia adalah lelaki
yang punya pergaulan bebas. Tapi, sedikit pun dia tidak membiarkanku
tenggelam dalam pergaulan seperti itu kembali.
Baginya, aku adalah aku. Aku tidak
boleh menjadi yang lain. Yang lain berbeda denganku. Karena aku kini hidup
tanpa ibu, miskin akan perhatian, bukan berarti aku harus kehilangan arah dalam
kehidupanku. Masih banyak jalan yang bisa ku tempuh untuk bisa bahagia. Di dunia ini, bukan hanya ibu yang ingin membuatku bahagia. Masih ada orang lain
yang peduli kepadaku, seperti layaknya Arai. Aku harus bisa membuat ibu
tersenyum di akhirat sana. Beliau harus bangga karena anak perempuannya sangat
hebat karena sudah bisa hidup tanpa seorang ibu.