Hargailah Cinta dan Kasih Sayang, karena Keduanya Selalu Menyertai Kehidupan Kita

Kamis, 29 Desember 2016

Penyesalanku

Terkadang aku menyesal, terkadang aku merasa akulah penyebabnya kamu berubah. Selama dua tahun semenjak kebersamaan kita, hatiku selalu ragu akan cintamu. Tapi, ada satu hari yang mungkin tidak akan pernah bisa ku lupakan. Dalam jarak ribuan kilometer, saat perhatianku mulai berpaling, ternyata kamu merasakannya.

Aku membaca pesanmu saat terbangun larut malam entah tepat jam berapa kamu mengirimkannya. Entah berapa lama kamu mengumpulkan keberanian untuk mengutarakan perasaan gelisah itu. Yang jelas, selama dua tahun ini kamu tidak pernah mengutarakan hal seserius itu padaku. Lantas, tiba-tiba saja aku menangis, hatiku sedih menyadari kesalahanku. Aku baru sadar selama ini kamu memang menyayangiku. Aku saja yang tidak mengerti bagaimana laki-laki mengekspresikan perasaannya kepada orang yang dia sayang.

Aku inilah yang dulu secara diam-diam bermimpi untuk meninggalkanmu, yang begitu ngotot berpisah darimu tidak peduli seberapa kuat kamu mempertahanku. Akulah yang kemudian hanya tertarik padamu ketika Agustus tiba. Itu saja. Setelah itu, aku pergi sesukaku. Maka tak heran jika kali ini aku merasa kamu sudah sangat berubah. Jauh dari kamu yang ku kenal dulu. Namun, akan ku terima jalanku. Jika karma memang pantas untukku, akan ku terima itu. Jika aku harus sakit lagi, akan kuterima sekali lagi. Biarlah.

Senin, 12 September 2016

2 Kehidupan yang Berbeda



“Kekayaan tidak bisa menghadirkan yang namanya ketulusan cinta. Kekayaan hanyalah menghadirkan cinta karenanya”

 Pagi yang mendung. Seorang anak perempuan berusia sekitar 12 tahun duduk di atas kursi di dalam sebuah rumah menatapi gaba-gaba dan daun nipah pelindungnya. Sesederhana itulah kehidupannya dan dia begitu menikmati hari demi harinya dengan cinta kasih yang begitu sempurna. Itulah dia. Ya dia. Indah, itulah namanya. Seorang anak perempuan yang cantik yang masih duduk di bangku SMP kelas 1. Ayahnya bekerja sebagai PNS di sebuah universitas di kota jauh dari tempat mereka tinggal. Beliau setiap harinya pulang balik dengan angkutan umum demi memenuhi kehidupan istri dan keenam anaknya. Ibunya hanyalah seorang penjual bumbu-bumbu dapur di pasar. Setiap hari, selain bersekolah, Indah bersama saudara-saudaranya membantu ibunya berjualan di pasar. Rumah berdindingkan gaba-gaba dan beratapkan daun nipah adalah tempat mereka berteduh setiap hari. Di depan, di samping, dan di belakang rumahnya berdiri kandang-kandang unggas seperti ayam, bebek, dan burung merpati. Memang keadaan seperti itu tak selayaknya ada di setiap rumah. Namun, lahan tempat mereka tinggal begitu kecil. Sedangkan semua itu jualah yang akan menanggung kehidupan mereka ke depan nanti.
***
     Jauh dari kesederhanaan kehidupan Indah, tak jauh dari tempat kediaman Indah, berdiri kokoh rumah yang begitu layak dihuni. Rumahnya memang tak sebagus ataupun seluas istana. Namun di dalamnya tinggal orang-orang yang merasakan bagaimana kesejahteraan hidup. Hidup mereka berkali-kali lebih mewah daripada kehidupan Indah. Di dalam rumah ini, hidup seorang laki-laki berusia sekitar 18 tahun yang baru saja lulus dari bangku SMA dengan prestasi yang sangat memuaskan. Lelaki ini sangatlah cerdas. Dia adalah putra pertama dari seorang guru matematika yang mengajar di SMA di desa mereka tinggal sekarang. Ibunya hanyalah seorang Ibu rumah tangga. Dia, namanya Arman. Kehidupannya mewah, namun tak semewah kelengkapan keluarga Indah. Ayahnya menikah 4 kali dan ibunya yang pertama.
  Hari ini, Arman akan berangkat ke Pontianak, Kalimantan Tengah untuk mewakili daerahnya yang turut serta dalam kegiatan pertukaran pemuda tingkat nasional. Dia akan tinggal di sana selama 1 bulan. Arman yang pintar, cerdas, sudah banyak meraih prestasi dan membuat bangga orang tuanya sewaktu dia masih duduk di bangku sekolah dulu. Dan sekarang setelah lulus dari sekolah, dia masih bisa membanggakan orang tuanya dengan mengikuti pertukaran pemuda tingkat nasional ini.
    Kepintaran, kecerdasan, ternyata tak bisa menjamin kesucian hati seseorang. Nyatanya lelaki yang cerdas dan sering membuat orang tuanya bangga itu adalah lelaki yang sedikit angkuh. Begitu pula dengan keluarganya, mereka adalah orang-orang yang angkuh. Mungkin kekayaan mereka yang terlihat lebih dari orang-orang di sekitarnya yang membutakan hati dan pikiran mereka, bahwa kehidupan tak selamanya akan bahagia karena harta. Namun cinta dan kasih sayanglah yang memegang peranan yang sangat besar. Kekayaan tidak bisa menghadirkan yang namanya ketulusan cinta. Kekayaan hanyalah menghadirkan cinta karenanya.
    Ayah Arman sangat jarang tinggal bersama ibunya. Dia lebih banyak meluangkan waktu bersama istri mudanya. Itulah alasan mengapa sampai ibunya sangat enggan mengurusi Arman dan saudara-saudara kandungnya. Ibu Arman merasa bahwa anak-anaknya bukan hanya tanggung jawabnya. Tapi mengapa hanya dia yang mengurusi mereka. Padahal dia tak banyak yang dia punya dan suaminya malah sering menghabiskan waktu bersama istri mudanya dan pasti bersama istri muda serta anak-anak tirinya-lah, suaminya lebih banyak memberi apa yang dia miliki daripada kepadanya.
***

    Hari ini, hari Minggu. Karena libur sekolah, Indah menghabiskan waktu membantu ibunya berjualan di pasar. Di sekolah, dia memang bukan seorang anak yang pintar dan sering membuat orang tuanya bangga seperti Arman, tapi di rumahnya dia adalah seorang anak yang sangat rajin dan pintar berjualan. Arman boleh saja bangga karena memiliki banyak uang. Tapi uang dimilikinya adalah hasil kerja keras ayahnya. Berbeda dengan Indah, walaupun uang yang dimilikinya sedikit, tapi setidaknya itu adalah hasil jerih payahnya sendiri karena sudah membantu ibunya.
  Waktu sarapan di sore hari sudah mulai tiba. Sepulang berjualan bumbu-bumbu dapur siang tadi, ibu Indah beristirahat sejenak dan melanjutkan aktifitas rutinnya, menggoreng pisang untuk didagangkan Indah di pasar. Dia masih mempunyai seorang kakak perempuan dan adik perempuan. Tapi kakak perempuannya sudah cukup bekerja dengan mengurusi pekerjaan rumah dan menemani ibu mereka berjualan tadi pagi. Sedangkan adik perempuannya adalah seorang kutu buku sehingga lebih banyak menghabiskan waktu dengan buku-buku pelajaran.
    Sambil berjalan menuju pasar yang tak jauh dari rumahnya, Indah memanfaatkan perjalanannya dengan menjajakkan jualannya ke rumah-rumah yang dia lewati.
“Pisang goreng…….pisang goreng……Pak, pisang goreng pak..bu..pisang goreng”
Maka tak heran bila terkadang sebelum sampai di pasar, jualannya sudah habis dijual ke tetangga-tetangganya.
   Ketika ayah mereka pulang bekerja, beliau selalu ingin semua anggota mereka ada di dalam rumah, terutama putri-putri kecilnya. Beliau akan sangat marah dan segera menyuruh ibu Indah keluar mencari anak-anaknya bila yang ditemukannya adalah ada salah 1 anggota keluarganya yang tak ada di dalam rumah. Kecuali jika alasannya karena mereka masih berada di sekolah atau melakukan pekerjaan penting lainnya.
    Keadaan ini sangat berbeda di rumah Arman. Arman dan saudara-saudaranya sudah terbiasa tak dicari ayahnya. Walau hidup bergelimang harta dan selalu mendapatkan apapun yang mereka inginkan, mereka sudah terbiasa tak menikmati kehadiran ayah mereka selama 1 hari, 2 hari, bahkan lebih. Mungkin karena ketidaklengkapan keluarga mereka inilah yang membuat mereka sedikit belajar bersaing dan menyombongkan diri dengan orang-orang disekitarnya. Mereka ingin mereka terlihat bahwa harusnya merekalah yang pantas bersama ayah mereka, bukan ke-3 ibu tiri mereka. Karena keadaan keluarga seperti itulah yang membuat mereka hidup dengan emosi. Setiap merasa capek, ibu Arman selalu berkata:
“Pergi saja kalian ke ayah kalian. Enak saja. Dia enak-enakkan bersama ibu tiri kalian dan kalian dengan senang hati membiarkannya. Ibu capek. Sana minta apa saja yang kalian inginkan sama ibu tiri kalian. Uang ayah kalian pasti sudah banyak diberikan kepadanya. Ibu dapat apa ? Tidak ada”
   Ibu tiri Arman, istri muda ayahnya sebenarnya adalah wanita yang sangat baik. Dia bahkan lebih peduli dengan Arman serta saudara-saudaranya dibanding ibu kandungnya sendiri. Dia sadar, dirinya bukan satu-satunya istri suaminya. Anak suaminya berarti anaknya juga. Ketika Arman akan berangkat ke Pontianak, dialah wanita yang sangat sibuk mengurusi perlengkapan yang harus dibawa Arman ke Pontianak. Dia selalu berusaha menjadi ibu yang baik kepada anak-anak tirinya. Tak heran, Arman begitu menyayangi ibu tirinya meski dia sering mendengar hal-hal jelek tentang ibu tirinya dari ibu kandungnya.