“Kekayaan tidak bisa menghadirkan yang namanya ketulusan
cinta. Kekayaan hanyalah menghadirkan cinta karenanya”
Pagi yang mendung. Seorang anak
perempuan berusia sekitar 12 tahun duduk di atas kursi di dalam sebuah rumah
menatapi gaba-gaba dan daun nipah pelindungnya. Sesederhana itulah kehidupannya dan dia
begitu menikmati hari demi harinya dengan cinta kasih yang begitu sempurna. Itulah dia. Ya dia.
Indah, itulah namanya. Seorang anak perempuan yang cantik yang masih duduk di bangku SMP kelas 1. Ayahnya bekerja
sebagai PNS di sebuah universitas di kota jauh dari tempat mereka tinggal.
Beliau setiap harinya pulang balik dengan angkutan umum demi memenuhi kehidupan
istri dan keenam anaknya. Ibunya hanyalah seorang penjual bumbu-bumbu
dapur di pasar. Setiap hari,
selain bersekolah, Indah bersama saudara-saudaranya membantu ibunya berjualan
di pasar. Rumah berdindingkan gaba-gaba dan beratapkan daun nipah adalah tempat mereka berteduh setiap hari. Di depan, di
samping, dan di belakang rumahnya berdiri kandang-kandang unggas seperti ayam,
bebek, dan burung merpati. Memang keadaan seperti itu tak selayaknya ada di setiap
rumah. Namun, lahan tempat mereka tinggal begitu kecil. Sedangkan semua itu
jualah yang akan menanggung kehidupan mereka ke depan nanti.
***
Jauh dari kesederhanaan kehidupan
Indah, tak jauh dari tempat kediaman Indah, berdiri kokoh rumah yang begitu
layak dihuni. Rumahnya memang tak sebagus ataupun seluas istana. Namun di dalamnya tinggal orang-orang
yang merasakan bagaimana kesejahteraan hidup. Hidup mereka berkali-kali lebih
mewah daripada kehidupan Indah. Di dalam rumah ini, hidup seorang laki-laki berusia
sekitar 18 tahun yang baru saja lulus dari bangku SMA dengan prestasi yang
sangat memuaskan. Lelaki ini sangatlah cerdas. Dia adalah putra pertama dari seorang
guru matematika yang mengajar di SMA di desa mereka tinggal sekarang. Ibunya
hanyalah seorang Ibu rumah tangga. Dia, namanya Arman. Kehidupannya mewah,
namun tak semewah kelengkapan keluarga Indah. Ayahnya menikah 4 kali dan ibunya
yang pertama.
Hari ini, Arman akan berangkat ke
Pontianak, Kalimantan Tengah untuk mewakili daerahnya yang turut serta dalam kegiatan pertukaran pemuda tingkat nasional.
Dia akan tinggal di sana selama 1 bulan. Arman yang pintar, cerdas, sudah banyak meraih prestasi dan membuat bangga orang tuanya sewaktu dia
masih duduk di bangku
sekolah dulu. Dan sekarang setelah lulus dari sekolah, dia masih bisa
membanggakan orang tuanya dengan mengikuti pertukaran pemuda tingkat nasional
ini.
Kepintaran, kecerdasan, ternyata tak bisa menjamin kesucian hati seseorang. Nyatanya lelaki yang cerdas dan sering
membuat orang tuanya bangga itu adalah lelaki yang sedikit angkuh. Begitu pula
dengan keluarganya, mereka adalah orang-orang yang angkuh. Mungkin kekayaan
mereka yang terlihat lebih dari orang-orang di sekitarnya yang membutakan hati dan pikiran mereka, bahwa kehidupan tak selamanya akan bahagia karena harta.
Namun cinta dan kasih sayanglah yang memegang peranan yang sangat besar.
Kekayaan tidak bisa menghadirkan yang namanya ketulusan cinta. Kekayaan hanyalah
menghadirkan cinta karenanya.
Ayah Arman sangat jarang
tinggal bersama ibunya. Dia lebih banyak meluangkan waktu bersama istri
mudanya. Itulah alasan mengapa sampai ibunya sangat enggan mengurusi Arman dan
saudara-saudara kandungnya. Ibu Arman merasa bahwa anak-anaknya bukan hanya
tanggung jawabnya. Tapi mengapa hanya dia yang mengurusi mereka. Padahal
dia tak banyak yang dia punya dan suaminya malah sering menghabiskan waktu bersama istri
mudanya dan pasti bersama istri muda serta anak-anak tirinya-lah, suaminya lebih banyak memberi apa yang dia miliki daripada kepadanya.
***
Hari ini, hari Minggu.
Karena libur sekolah, Indah menghabiskan waktu membantu ibunya berjualan di
pasar. Di sekolah, dia memang bukan seorang anak yang pintar dan sering membuat
orang tuanya bangga seperti Arman, tapi di rumahnya dia adalah seorang anak yang sangat rajin dan pintar
berjualan. Arman boleh saja bangga karena memiliki banyak uang. Tapi uang
dimilikinya adalah hasil kerja keras ayahnya. Berbeda dengan Indah, walaupun
uang yang dimilikinya sedikit,
tapi setidaknya itu adalah hasil jerih payahnya sendiri karena sudah membantu
ibunya.
Waktu sarapan di sore hari
sudah mulai tiba. Sepulang berjualan bumbu-bumbu dapur siang tadi, ibu Indah
beristirahat sejenak dan melanjutkan aktifitas rutinnya, menggoreng pisang
untuk didagangkan Indah di pasar. Dia masih mempunyai seorang kakak perempuan
dan adik perempuan. Tapi kakak perempuannya sudah cukup bekerja dengan mengurusi
pekerjaan rumah dan menemani ibu mereka berjualan tadi pagi. Sedangkan adik
perempuannya adalah seorang kutu buku sehingga lebih banyak menghabiskan waktu
dengan buku-buku pelajaran.
Sambil berjalan menuju pasar yang
tak jauh dari rumahnya, Indah memanfaatkan perjalanannya dengan menjajakkan jualannya ke rumah-rumah yang dia lewati.
“Pisang
goreng…….pisang goreng……Pak, pisang goreng pak..bu..pisang goreng”
Maka tak heran bila terkadang sebelum sampai di pasar, jualannya sudah habis dijual ke
tetangga-tetangganya.
Ketika ayah mereka pulang
bekerja, beliau selalu ingin semua anggota mereka ada di dalam rumah, terutama
putri-putri kecilnya. Beliau akan sangat marah dan segera menyuruh ibu Indah
keluar mencari anak-anaknya bila yang ditemukannya adalah ada salah 1 anggota
keluarganya yang tak ada di dalam rumah. Kecuali jika alasannya karena mereka
masih berada di sekolah atau melakukan pekerjaan penting lainnya.
Keadaan ini sangat berbeda di rumah
Arman. Arman dan saudara-saudaranya sudah terbiasa tak dicari ayahnya. Walau
hidup bergelimang harta dan selalu mendapatkan apapun yang mereka inginkan,
mereka sudah terbiasa tak menikmati kehadiran ayah mereka selama
1 hari, 2 hari, bahkan lebih. Mungkin karena
ketidaklengkapan keluarga mereka inilah yang membuat mereka sedikit belajar
bersaing dan menyombongkan diri dengan orang-orang disekitarnya. Mereka ingin
mereka terlihat bahwa harusnya merekalah yang pantas bersama ayah mereka, bukan ke-3 ibu tiri mereka. Karena
keadaan keluarga seperti itulah yang membuat mereka hidup dengan emosi. Setiap
merasa capek, ibu Arman selalu berkata:
“Pergi
saja kalian ke ayah kalian. Enak saja. Dia enak-enakkan bersama ibu tiri kalian
dan kalian dengan senang hati membiarkannya. Ibu capek. Sana minta apa saja
yang kalian inginkan sama ibu tiri kalian. Uang ayah kalian pasti sudah banyak
diberikan kepadanya.
Ibu dapat apa ? Tidak ada”
Ibu tiri Arman, istri muda
ayahnya sebenarnya adalah wanita yang sangat baik. Dia bahkan lebih peduli
dengan Arman serta saudara-saudaranya dibanding ibu kandungnya sendiri. Dia
sadar, dirinya bukan satu-satunya istri suaminya. Anak suaminya berarti anaknya
juga. Ketika Arman akan berangkat ke Pontianak, dialah wanita yang sangat sibuk
mengurusi perlengkapan yang harus dibawa Arman ke Pontianak. Dia selalu
berusaha menjadi ibu yang baik kepada anak-anak tirinya. Tak heran, Arman
begitu menyayangi ibu tirinya meski dia sering mendengar hal-hal jelek tentang
ibu tirinya dari ibu kandungnya.