Sayangnya, semua harapan itu kini
hanyalah sebatas harapan. Harapan yang dari hari ke hari akan menjadi harapan
kosong, takkan terwujud. Nyatanya, hari ini aku hanya berdiri sendiri dan
merindu pada senja yang ku harapkan dapat membawanya pulang ke sisiku. Tabungan
rinduku telah dicuri, hingga aku sendiri tak bisa mengubahnya menjadi
kebahagiaan yang ku impikan. Tabungan rinduku telah direnggut oleh takdir yang
tak menghendaki aku dan dia untuk bersama.
Hari itu juga, aku menyaksikannya
duduk di atas singgasana itu. Singgasana pengantinnya bersama dengan kekasih
yang telah halal baginya. Sebagaimana yang pernah ku ceritakan, isterinya
menggenggam sejumlah mawar di tangan kirinya dan tangan kanannya bersilang
dengan tangan kirinya. Dari sini aku menyaksikan kebahagiaannya walau hanya
lewat siaran langsung saudara sepupunya di media sosial.
Seketika aku ingin menangis, tapi
sesuatu di dalam hati melarangku untuk menangis. Aku tersiksa dengan rasa sakit
hati tanpa tangisan. Aku teringat pernah mendengarnya bercerita tentang
khayalannya jika kami menikah nanti, dulu. Dan hari ini aku menyaksikan bukti
bahwa khayalannya selamanya hanya sebatas khayalan saja. Wajahnya riang,
senyumnya lebar, tanpa berpikir bahwa aku tersiksa dengan sisa-sisa janjinya
untuk datang memintaku menjadi kekasih halalnya. Perasaanku hancur. Satu janji
rasa yang coba ku tanamkan dalam hatiku adalah, Demi Allah, aku bahagia dengan
takdirnya, dengan takdirku.