Hargailah Cinta dan Kasih Sayang, karena Keduanya Selalu Menyertai Kehidupan Kita

Selasa, 05 Februari 2013

Setahun Setelah Ibu Pergi

             Saat aku masih duduk di bangku SMP kelas II, ibuku meninggal setelah melahirkan adik bungsuku. Sungguh kepergiannya begitu menyakitkan bagiku. Dimana lagi harus ku cari kasih sayang seorang ibu kandung sepertinya. Dimana lagi aku bisa memperoleh kehangatan seperti kehangatan pelukannya, dimana lagi bisa kudapatkan kasih sayang selembut kasih sayang yang pernah dia berikan padaku dan juga kepada adik-adikku.
             Kini 1 tahun telah berlalu, ayah menikah lagi. Seorang wanita Jawa yang terlihat anggun telah merebut hati ayah dari ibu. Dia cantik, baik, tapi dia bukan ibu. Kecantikannya berbeda, kebaikannya pun berbeda. Dia tidak bisa menyayangiku sebaik ibu menyayangiku. Semenjak ibu pergi, keluargaku tercerai berai. Adik-adikku tinggal bersama keluarga Ibu di daerah asal Ibu. Sementara aku dan ayah, menetap di kota ini.
             Selama Ibu masih hidup, hidupku bahagia. Keluarga ibu adalah orang-orang yang berada. Aku tak pernah sulit dalam hal finansial. Ayahku hanyalah penyemir sepatu di pasar dengan penghasilan yang takkan mungkin bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari kami sekeluarga. Aku prihatin dengan keadaanku sekarang. Aku telah kehilangan perhatian yang selama ini membuat hidupku teratur. Ibu tiriku tidak mempunyai jiwa keibuan sama sekali. Dia seakan tak menyadari bahwa sekarang dia sudah menjadi seorang isteri dengan beberapa anak. Sikapnya masih saja seperti anak muda.
             Aku yang kurang diperhatikan, lama-kelamaan menjadi kehilangan arah. Mungkin ayah tak menyadari hal itu. Karena setiap tahun, di sekolah aku selalu membanggakannya dengan peringkat-peringkat teratas yang ku peroleh di kelas. Aku akui memang aku berbakat dan ayah percaya sekali padaku, hingga dia merasa dia tak perlu terlalu banyak mengurusiku karena aku sudah tahu mengurusi diriku sendiri. Tapi ternyata dia salah.
             Sejak aku memasuki bangku SMA kelas I, sejak itulah aku mulai merusak diriku sendiri. Pergaulanku sekarang tak teratur. Semua kalangan remaja maupun dewasa ku paksakan mereka masuk ke kedalam lingkaran pergaulanku. Dan itu berhasil. Dengan wajah yang manis, tubuh tinggi dan langsing, aku mampu menarik beberapa lelaki menjadi pacarku. Hingga aku terkenal di kota ini. Semua kalangan mengenalku. Bagaimana aku? Kebaikanku, keburukanku. Hampir semua pelosok di kota ini mengenalku. Tapi ayah dan ibu tiriku, mereka tak pernah tahu. Entah apa yang menyebabkan hal itu. Sudah taukah? Atau pura-pura tahu karena mereka malas mengurusiku?
             Teman-teman baikku kini adalah cewek-cewek bispak, orang-orang kaya, laki-laki pemabuk, pemakai, cewek-cewek pemakai, semua berteman baik denganku. Tapi kadang aku gengsi dan merasa sulit ketika berjalan dengan mereka karena aku kekurangan uang. Aku merasa tersisihkan. Mengapa disaat orang-orang bisa bersenang-senang, aku hanya bisa melihat mereka dan menyadari kekuranganku?
             Aku hancur, sangat hancur. Aku bahkan hampir saja mengikuti jejak teman-temanku menjadi cewek-cewek bispak. Tapi tidak. Aku hanya senang memanjakan diriku dengan rokok, minum minuman keras. Aku bergaul untuk ikut menikmati uang teman-temanku yang bispak yang tidak jelas datangnya dari mana. Semua ini ku lakukan awalnya hanya karena terpaksa. Tapi lama-kelamaan semua itu menjadi kebiasaan. Karena aku tidak bahagia dengan ayah yang hanya seorang penyemir sepatu. Penghasilannya sangat tidak cukup untuk memenuhi kebutuhanku. Sekarang, inilah aku dengan segala dosaku. Dosa yang mungkin sudah membuat Ibu sedih di alam sana.

1 komentar: