Saat aku masih duduk di bangku SMP
kelas II, ibuku meninggal setelah melahirkan adik bungsuku. Sungguh kepergiannya
begitu menyakitkan bagiku. Dimana lagi harus ku cari kasih sayang seorang ibu
kandung sepertinya. Dimana lagi aku bisa memperoleh kehangatan seperti
kehangatan pelukannya, dimana lagi bisa kudapatkan kasih sayang selembut kasih
sayang yang pernah dia berikan padaku dan juga kepada adik-adikku.
Kini 1 tahun telah berlalu, ayah
menikah lagi. Seorang wanita Jawa yang terlihat anggun telah merebut hati ayah
dari ibu. Dia cantik, baik, tapi dia bukan ibu. Kecantikannya berbeda,
kebaikannya pun berbeda. Dia tidak bisa menyayangiku sebaik ibu menyayangiku.
Semenjak ibu pergi, keluargaku tercerai berai. Adik-adikku tinggal bersama keluarga
Ibu di daerah asal Ibu. Sementara aku dan ayah, menetap di kota ini.
Selama Ibu masih hidup, hidupku
bahagia. Keluarga ibu adalah orang-orang yang berada. Aku tak pernah sulit
dalam hal finansial. Ayahku hanyalah penyemir sepatu di pasar dengan penghasilan
yang takkan mungkin bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari kami sekeluarga. Aku
prihatin dengan keadaanku sekarang. Aku telah kehilangan perhatian yang selama
ini membuat hidupku teratur. Ibu tiriku tidak mempunyai jiwa keibuan sama
sekali. Dia seakan tak menyadari bahwa sekarang dia sudah menjadi seorang
isteri dengan beberapa anak. Sikapnya masih saja seperti anak muda.
Aku yang kurang diperhatikan,
lama-kelamaan menjadi kehilangan arah. Mungkin ayah tak menyadari hal itu.
Karena setiap tahun, di sekolah aku selalu membanggakannya dengan
peringkat-peringkat teratas yang ku peroleh di kelas. Aku akui memang aku
berbakat dan ayah percaya sekali padaku, hingga dia merasa dia tak perlu
terlalu banyak mengurusiku karena aku sudah tahu mengurusi diriku sendiri. Tapi
ternyata dia salah.
Sejak aku memasuki bangku SMA kelas
I, sejak itulah aku mulai merusak diriku sendiri. Pergaulanku sekarang tak
teratur. Semua kalangan remaja maupun dewasa ku paksakan mereka masuk ke
kedalam lingkaran pergaulanku. Dan itu berhasil. Dengan wajah yang manis, tubuh
tinggi dan langsing, aku mampu menarik beberapa lelaki menjadi pacarku. Hingga
aku terkenal di kota ini. Semua kalangan mengenalku. Bagaimana aku? Kebaikanku,
keburukanku. Hampir semua pelosok di kota ini mengenalku. Tapi ayah dan ibu
tiriku, mereka tak pernah tahu. Entah apa yang menyebabkan hal itu. Sudah
taukah? Atau pura-pura tahu karena mereka malas mengurusiku?
Teman-teman baikku kini adalah
cewek-cewek bispak, orang-orang kaya,
laki-laki pemabuk, pemakai, cewek-cewek pemakai, semua berteman baik denganku.
Tapi kadang aku gengsi dan merasa sulit ketika berjalan dengan mereka karena
aku kekurangan uang. Aku merasa tersisihkan. Mengapa disaat orang-orang bisa
bersenang-senang, aku hanya bisa melihat mereka dan menyadari kekuranganku?
Aku hancur, sangat hancur. Aku bahkan hampir saja mengikuti
jejak teman-temanku menjadi cewek-cewek bispak. Tapi tidak. Aku hanya senang memanjakan diriku dengan rokok, minum minuman keras. Aku bergaul untuk ikut menikmati uang teman-temanku yang bispak yang tidak jelas datangnya dari mana. Semua ini ku lakukan awalnya
hanya karena terpaksa. Tapi lama-kelamaan semua itu menjadi kebiasaan. Karena
aku tidak bahagia dengan ayah yang hanya seorang penyemir sepatu.
Penghasilannya sangat tidak cukup untuk memenuhi kebutuhanku. Sekarang, inilah
aku dengan segala dosaku. Dosa yang mungkin sudah membuat Ibu sedih di alam
sana.
.jdi haru jga ni
BalasHapus